Minggu, 30 Desember 2007

Age of Positivistism

Lembaga-lembaga pendidikan adalah tempat dimana kita mendapatkan pengetahuan yang didalamnnya terdapat ilmu-ilmu yang secara spesifik mengajarkan tentang berbagai kajian-kajian. Dari sudut pandang ontologi yakni tentang apa yang kita kaji dalam pengetahuan. Didalam filsafat terdapat tiga landasan yang sangat mendasar yaitu ontology, epistemology, dan aksiologi atau dengan bahasa yang sangat sederhana yang dikatakan oleh Jujun Suryasumantri adalah setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontology), bagaimana (epistemelogi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan disusun. Ketiga landasan yang saya sebutkan diatas adalah saling terkait dan mempunyai batasan-batasan (boundaries).

Berangkat dari ketiga landasan ontology, epistemology, dan aksiologi saya akan membahas satu persatu. Yang pertama tentang ontology. Setiap pengetahuan mempunyai ontology, ontologi juga dapat dikatakan sebagai batasan-batasan yang dikaji didalam ilmu dan yang bukan ilmu. Di dalam buku Jujun disebutkan atau memberikan batasan bahwa ada tiga yang menjadi ontology dari pengetahauan yaitu Science, religi dan art. Pertanyaannya mengapa Jujun hanya menyebutkan tiga kategori atau membatasi tiga kategori saja? Sedangkan kalau menurut saya ontology dapat dikatakan segala sesuatu yang kita kaji, oleh karena itu didalam realitas yang terjadi didalam masyarakat kita biasa mendengar atau melihat secara langsung adanya manusia yang masih mempelajari ilmu-limu kanuragan, santet, dan hal-hal yang bersifat gaib atau supranatural.

Mengapa Jujun membatasi hal tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ontology yang dikemukakan Jujun terdapat paradigma positivisme yang kemudian menafikan hal-hal yang sifatnya postpositivisme. Kemudian yang kedua adalah tentang pembahasan mengenai epistemology yakni bagaimana cara pengetahuan itu didapatkan dengan benar? Hal-hal apa yang harus diperhatikan untuk mendapatkan pengetahuan dengan benar? Apakah kriterianya? Cara, teknik dan criteria apa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar? Bagaimanakah prosedurnya? Demikianlah dengan sederhana tentang epistemology. Epistemologi yang berlaku di lembaga-lembaga pendidikan ternyata sampai saat ini sangat dikuasai oleh pemikiran positivistisme yang mana saya ambil salah satu contoh tentang sarana berpikir ilmiah yang dikemukan oleh Jujun. Menurut Jujun sarana berpikir ilmiah adalah di bagi tiga yakni bahasa, matematika dan statistika. Kalau menurut saya didalam kajiannya itu besar sekali pemikiran positivistisme. Pandangan posivistisme yang mendepankan ilmiah, obejktif dan bebas nilai ternyata membuat suatu tatanan baru dalam pengetahuan.

Aliran Positivistisme adalah pandangan dunia empirisme yang objektif mencapai puncaknya pada masa August Comte (1798-1857), yang kemudian dikenal sebagai aliran filsafat positivisme dan kemudian Positivisme mendominasi wacana ilmu pada abad ke-20 dengan menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi sebuah ilmu. Hal ini bisa kita ketahui ketika kita diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan yang terendah seperti SMP dan SMA, seperti pelajaran IPA dan IPS. Semua pelajaran baik IPA atau IPS juga didalamnya terdapat aliran-aliran yang positivistik yang manusia anggap sebagai “ilmiah”. Kalau menurut saya, disini terdapat suatu era kemenangan bagi aliran positivistisme.

Kemudian apakah psositivisme itu? Kita dapat melihat pada zaman mitologi yunani kuno pada tahun 600 SM, yakni terdapat adanya suatu mitos-mitos dan kemudian Pergerseran dari mitos ke logos (rasio) dimana para pemikirnya adalah Thales, Pytagoras, Socrates, Plato dan Aristoteles. Kemudian ditandai dengan masa Rennaisans (kembali ke filsafat Yunani) atau filsafat modern, diikuti masa Aufklarung (pencerahan) yang mana Tokoh utamanya adalah Descartes, yaitu menjelaskan bahwa Rasio adalah sumber pengetahuan satu-satunya. Paham rasio disini mendasarkan pada pengalaman, kaum rasionalis kemudian mengambangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang medasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme. Kemudian muncul penentanganya yaitu David Hume, Locke, dan Barkeley dimana mereka penganut empirisme. Mereka yakin akan adanya regularity di alam raya, kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang konkret. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia, seperti adanya suatu pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Akan tetapi terdapat juga beberapa kelamahan dari paham empirs ini, karena pemaham empiris ini cenderung pada kumpulan fakta-fakta saja yang tidak dapat digeneralisasi. Hal ini membawa kita pada dua permasalahan yaitu yang pertama, adanya dua fakta nyata yaitu antara seorang yang rambut keriting dan intelegensi manusia bgaimana kita mengetahui anara kedua fakta tersebut? Apakah rambut keriting dan intelejensi manusia membuat suatu kaitan tertentu? Masalah yang kedua adalah mengenai hakikat pengalaman yang merupakan cara dalam menemukan pengatahuan dan pancaindera sebgai alat menangkapnya. Disini terdapat kekurangan mengenai pancaindera. Pancaindera dapat terbatas kemampuannya dan yang terpenting adalah pancaindera dapat melakukan kesalahan. Contohnya suatu fenomena alam yang yang terjadi, kita melihat adanya mendung dilangit dari gejala alam itu belum tentu hujan akan turun, jadi pengalaman tidak bisa digeneralisasi, atau mengambil kesimpulan kalau langit mendung maka akan turun hujan. Ah itulah beberapa persoalan bila hanya mengandalkan gejala alam dengan tangkapan panca indera. Hohoho sangat membingungkan hidup ini.

Manusia ini memang tidak berhenti berpikir dan berdebat mereka berdebat demi suatu kebenaran, ”hah dasar manusia” makanya saya ingin terus jadi manusia saya tidak ingin menjadi setan, jin, malaikat, atau tuhan sekalipun dan saya lebih bangga menjadi manusia karena mempunyai pemikiran yang beragam dan kompleks. Kita bisa temui perdebatan antara rasionalisme dan empirisme. Perdebatan antara rasionalisme dan empirisme kemudian ada Immanuel Kant menjadi pengengah antara rasionalisme versus empirisme yang kemudian dikenal Positivisme Abad ke-20. Pandangan dunia empirisme yang objektif mencapai puncaknya pada masa August Comte (1798-1857), yang kemudian dikenal sebagai aliran filsafat positivisme. Kemudian positivisme mendominasi wacana ilmu pada abad ke-20 dengan menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi sebuah ilmu, dan salah satunya yang saya sebutkan diatas ketika Jujun memberikan pendapat bahwa sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika.

Untuk mengatahui lebih lanjut dari positivisme dengan melihat kriteria-kriteria Positivisme yaitu, pertama adalah Objektif, Ilmu dan teori-teori haruslah bebas nilai, kedua Fenomenalisme yaitu ilmu hanya mempelajari tentang semesta yang teramati, substansi metafisis diabaikan. Yang kemudian menafikan adanya pengetehauan yang didapatkan dari intuisi dan wahyu, karena hal ini tidak dianggap empiris dan rasional. Yang ketiga adalah Reduksionisme yaitu semesta dapat direduksi menjadi bagian-bagiannya yang dapat diamati, yang keempat naturalisme yaitu alam semesta adalah objek-objek bergerak secara mekanis seperti halnya mesin jam.

Bersambung……………

Rabu, 26 Desember 2007

Oleh-oleh dari Bali: Skema REDD dan Climate Justice

Berbagai macam cara dan perkara tentang penyelamatan bumi dari pemanasan global ini sudah banyak dilakukan baik dari LSM, aktivis lingkungan, pemerintah, para ahli, hingga para artis. Begitu menakutkannya dampak perubahan iklim tersebut, sehingga berbagai seruan yang seragam bahwa bumi harus segera diselamatkan dari bencana perubahan iklim ini.

REDD yang menyilaukan

Berbagai proyek mitigasi (pengurangan) gas rumah kaca pun ditawarkan. Solusi-solusi mulai dari mekanisme pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism (CDM) hingga pencegahan deforestasi atau Avoided Deforestation (AD) yang mengacu pada pencegahan atau pengurangan hilangnya hutan dengan maksud untuk menurunkan emisi gas yang akan mengakibatkan pemanasan global, yang mana hal ini kemudian menjadi isu kunci dalam setiap debat kebijakan tentang perubahan iklim.


Badan ilmiah dari konvensi kerja kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) telah membuat laporan tantang bagaimana mancapai target penurunan emisi dari deforestasi (Reduced Emissions from Deforestations/RED) yang telah disampaikan pada konferensi negara-negara pihak (COP) kemarin di Bali. Para pendukung RED menginginkan insentif bagi konservasi hutan menjadi instrumen perdagangan Protokol Kyoto pada fase berikutnya (2012).

Dengan adanya mekanisme semacam ini Bank Dunia berusaha menjadi badan Internasional utama yang memimpin inisiatif global RED. Pada pertengahan 2007, badan ini meminta kelompok negara-negara industri anggota G8 untuk memberi dukungan politik dan pendanaan terhadap rencana baru Bank Dunia yaitu fasilitas kemitraan karbon hutan atau Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) yang akan menjadi skema percontohoan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dilima negara tropis.

Ide dasar dari AD adalah negara-negara utara membayar negara-negara selatan untuk mengurangi penggundulan hutan dalam wilayah negara mereka. Salah satu usulan adalah dengan memberi bantuan keuangan untuk kepentingan tersebut.

Kemudian semakin di sadari bahwa deforestasi khususnya di hutan tropis, menyumbang antara 18 sampai 20% dari seluruh gas CO2 global pertahun dan dibeberapa negara seperti Brazil, angkanya diatas 75% dari CO2 tahunan yang berasal dari aktivitas manusia. Sebagai konsekuensinya, berkembanglah kesepakatan internasional bahwa kebijakan-kebijakan dimasa depan untuk memerangi perubahan iklim harus mengurangi deforestasi dinegara-negara tropis.

Beberapa pendukung dari AD kemudian bukan saja mengusung tentang pencegahan deforestasi, namun juga penurunan emisi dari pencegahan degradasi hutan yakni yang dikenal sebagai Reduced Emission from Degradation and Deforestations (REDD), dan Indonesia adalah salah satu negara yang ikut mendukung REDD ini. Posisi negara seperti Indonesia yang telah memiliki hutan gundul dan kerusakan hutan yang parah akibat industri kayu juga mendukung kegiatan penanaman kembali dan pemulihan dibawah skema pencegahan deforestasi. Dengan adanya skema ini diharapkan konstribusi emisi dari deforestasi khususnya pada hutan hujan tropis yang mencapai 20% dari total emisi karbon di atmosfir dapat dikurangi.

Berbicara tentang REDD seperti yang dikatakan oleh Tom Griffiths dan Forest People Programme menggambarkan bahwa REDD adalah sebagai suatu proposal yang menawarkan kewajiban membayar bagi negara-negara utara kepada negara-negara selatan guna mengurangi penggundulan hutannya, dibawah sistem global perdagangan karbon, menjual karbon yang tersimpan dihutan mereka kepada negara-negara utara sehingga industri-industri di utara dapat melakukan pencemaran seperti biasa.

Memang skema REDD ini sangat menyilaukan mata karena dengan dijanjikan kempensasi dana hingga US$3,75 miliar (Rp33,75 triliun) pertahun dari negara-negara maju dan diharapkan mampu menyelesaikan masalah kerusakan hutan, lewat program proyek REDD tersebut. Akan tetapi pertanyaannya apakah mekanisme REDD ini dapat menjadi solusi yang tepat ?

Mengapa mempersoalkan skama REDD?

Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah siapa yang diuntungkan dari skema REDD ini?

Mekanisme yang ditawarkan oleh REDD mungkin akan menggiurkan bagi para aparat pemerintah dengan adanya dana kompensasi tersebut, apalagi dengan adanya otonomi khusus yakni adanya hak khusus yang diberikan pemerintah daerah untuk dapat mengelola hutannya sendiri. Persoalan yang muncul adalah banyak dari proposal AD yang tidak secara jelas lembaga apa, kelompok atau perorangan yang akan menerima pembayaran kompensasi dibawah skema RED internasional.

Sedang dalam hal ini Indonesia mengajukan proposal menyatakan bahwa dana kompensasi bisa dibagikan kepada otoritas pengelola kawasan lindung, perusahaan kayu ”bersertifikat”, yang menerapkan manajemen hutan lestari (sustainable forest management/SFM), inisiatif memberantas illegal logging/ penebangan liar, skema pembayaran jasa lingkungan (payment for envireomental service/PES) dan manajemen hutan berbasis masyarakat, walaupun proposal Indonesia tidak menjelaskan secara terperinci kelompok mana atau orang yang akan menerima dana dan inisiatif-inisiatif tersebut.

Dengan sedikitnya skema AD yang kongkrit dalam pelaksanaannya, sampai saat ini masih sangat jauh program AD dan RED ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat ditingkat lokal.

Setidaknya ada beberapa masalah dalam skema REDD yang dapat dipersoalkan, pertama berlangsungnya program REDD di Indonesia hanya akan membuat adanya broker karbon ditengah-tengah pemerintah daerah pemilik hutan apalagi dengan adanya otonomi daerah yang mana hak pemerintah daerah untuk mengelola hutan. Beberapa hasil kajian, sejumlah calo atau broker karbon sudah menembus taraf gubernur terkait proses REDD. Selain itu belum adanya mekanisme dan proses sertifikasi yang jelas akan menjadi celah yang bisa dimanfaatkan para broker tersebut untuk mendapatkan keuntungan.

Kedua, mengutip dari M. Riza Damanik, mekanisme REDD ini menawarkan kepada negara-negara yang memiliki hutan untuk menjaga dan mengunci hutannya dengan imbalan imbalan uang. Resiko yang akan muncul dana-dana REDD ini akan dipakai oleh negara untuk melengkapi lembaga perlindungan hutan dengan sejumlah mobil jeep, walky talky, persenjataan, helikopter dan GPS dengan pendekatan ”senjata dan penjaga” dengan cara ini mengukuhkan kontrol negara dan swasta atas hutan. Kalo melihat tawaran ini tentunya sangat banyak yang dirugikan karena hal ini akan membatasi akses dan partisipasi masyarakat lokal terhadap hutan, belum lagi mayarakat yang tinggal diskitar hutan dan penghidupannya mengandalkan dari hasil hutan, bila akses terhadap hutan mereka dibatasi maka akan dikemanakan mereka.

Dalam kasus Indonesia sebagai negara kepulauan, dimana pemerintah sedang berencana untuk mengalokasikan 37,5 juta hektar hutan yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua, tentu akan menjadi ancaman serius bagi mereka yang tinggal disekitar kawasan hutan tersebut. Tentunya ancaman tidak hanya merugikan dalam aspek finansial semata, namun juga pada aspek ketersediaan dan kedaulatan rakyat Indonesia atas suatu wilayah hutan tertentu.

Ketiga, proposal REDD justru membuka kesempatan kepada pengusaha kehutanan untuk turut mendapat insentif dari mekanisme yang ditawarkan yakni berlandas kepada kekuatan legal formal yang dimiliki atas suatu konsesi kawasan hutan tertentu (seperti HPH, HTI dan perkebunan) melalui itikad pengurangan atau penghentian pemanfaatan kawasan konsesi hutan yang dimiliki oleh setiap pengusaha. Dengan begini, bukan masyarakat disekitar hutan yang mendapat keuntungan dari REDD, tapi justru mereka para pengusaha yang mendapatkan keistimewaan dari REDD dalam hal finansial, dan sekaligus terbebas dari tanggung-jawab mutlak terhadap kerusakan hutan dan lahan yang telah dilakukan sebelumnya.

Beberapa contoh kasus dapat kita lihat yang terjadi di Uganda dan Ekuador misalnya, telah terjadi penyingkiran ribuan komunitas lokal dari hutan akibat privatisasi hutan oleh perusahaan-perusahaan dari negara maju yang dipelopori oleh pemerintah setempat dengan mengatasnamakan konservasi yang bertujuan penyelamatan iklim global. Dan yang terakhir dampak dari skema REDD yakni mengabaikan fungsi ekosistem hutan, fungsi hutan dipakai untuk penyerap karbon semata dan menyederhanakan fungsi hutan yang lebih luas seperti hutan adalah sebagai tangkapan air, sebagai ruang hidup, sebagai tempat tinggal masyarakat ada, hingga fungsi sosio-kultural yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat.

Mengusung Climate Justice

Skema baru yang ditawarkan seperti REDD ini tentunya bukannya akan memberikan solusi yang baik, solusi ini tidak proporsional satu sisi negara maju menikmati kenyamanan hidup dengan mengkonsumsi bahan bakar fosil dan praktek-praktek industri yang menghasilkan emisi karbon lebih banyak, sementara negara-negara kepulauan kecil, perempuan, generasi muda, komunitas pesisir, komunitas lokal, masyarakat adat, kelompok nelayan, masyarakat miskin, khususnya di negara berkembang harus berjuang lebih keras untuk menghadapi dampak perubahan iklim, analogi yang sederhana mungkin seperti ini negara maju yang buang air besar di toilet lalu negara berkembanglah seperti (Indonesia) yang harus membersihkan isi toiletnya dan dibayar dengan uang receh.

Kemudian pertanyaan yang mucul adalah dimanakah letak suatu keadilan? Sebuah ketidakadilan bila penduduk lokal yang selama ini memanfaatkan hutan secara lestari harus tersingkir dari sumber-sumber kehidupannya bahkan dikorbankan pula hak hidupnya atas nama konservasi dan penyelamatan iklim bumi. Dimana hak-hak masyarakat adat ketika hak-hak atas hutan sebagai tempat penghidupan meraka bila harus dibatasi oleh pihak swasta dan pemerintah.

Seharusnya yang perlu diusung oleh negara Indonesia sebagai tuan rumah COP 13 UNFCCC kemarin adalah suatu gerakan reduksi emisi karbon yang berkeadilan (climate Justice). Apa yang menjadi tujuan climate justice? Telah kita ketahui juga bahwa model-model yang diterapkan selama ini dalam memerangi pemanasan global dan adanya upaya global yang dilakukan selama 12 tahun terakhir untuk mengurangi dampak pemanasan global ternyata adalah suatu bukti kegagalan dan belum lagi mekanisme REDD yang sangat merugikan masyarakat, dengan adanya skema REDD ternyata hanya menguntungkan untuk pihak-pihak swasta atau perorangan semata terutama dari negara-negara maju.

Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi kritis yang harus dilakukan seperti evaluasi terhadap model ekonomi politik global yang didukung oleh beragam instrumen politis multilateral. Maka dari itu perlunya keadilan iklim disini dalam proses UNFCCC yang berlangsung di Bali kemarin adalah untuk memahami konteks tersebut dan untuk memberikan sejumlah argumen kunci sebagai solusi dari masalah diatas. Mengusung tentang keadilan iklim ini adalah sebagai suatu batu loncatan strategis untuk suatu solusi. Selain itu Keadilan iklim menegaskan bahwa upaya-upaya penanganan perubahan iklim yang dilakukan tidak membahayakan komunitas lokal dalam lingkup yang luas, menghormati hak masyarakat adat, hak-hak generasi muda.

Setidaknya ada 4 fokus area yang di perhatikan dari climate justice: Pertama, human Security, pada dasarnya masalah penanganan perubahan iklim ini tidak boleh membahayakan masyarakat luas dan harus selaras dengan deklarasi mengenai HAM. Mengacu pada hal ini dengan adanya skema REDD harus dicermati lebih seksama apakah hal ini dapat mengancam aspek human security. Seperti yang sudah dijelaskan diatas tentang dampak dari mekanisme REDD. Mengacu data yang dikemukan oleh Walhi pelanggaran HAM terhadap penduduk lokal dalam proyek konservasi lahan juga telah sering terjadi. Setidaknya telah terjadi 356 konflik yang melibatkan penduduk lokal, negara, perusahaan perkebunan dan kehutanan sepanjang tahun 2003 hingga 2007 yang tersebar di 27 provinsi.

Kedua, utang termasuk utang ekologis, tanpa menyelesaikan masalah utang, keadilan Iklim sulit untuk diwujudkan. Pengakuan atas prinsip hutang ekologis, yaitu bahwa pemerintah negara industri dan perusahaan lintas negara lah yang sebenarnya berhutang kepada dunia atas pencemaran yang dilakukan. Selain itu industri bahan bakar fosil dan industri ekstraktif harus bertanggung jawab secara hukum untuk seluruh dampak yang terkait dengan produksi gas rumah kaca dan polutan.

Ketiga masalah produksi dan konsumsi, akar dari masalah perubahan iklim dan masalah lingkungan lainnya adalah masalah adalah praktek produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan, khususnya terjadi terutama di negara-negara Utara, dan juga kaum elit di negara-negara Selatan. Selain itu peran perusahaan-perusahaan lintas negara yang menerapkan pola produksi dan konsumsi serta gaya hidup yang tidak berkelanjutan, baik ditingkat nasional dan internasional yang sangat besar harus dibatasi. Perlu dilakukan moratorium eksplorasi dan eksploitasi bahan bakar fosil; moratorium konstruksi pembangkit tenaga nuklir; penghentian penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir; serta moratorium konstruksi skema pembangkit listrik tenaga air skala besar.

Keempat, land tenure (hak Atas Lahan), diperlukan model sosial-ekonomis yang menjamin hak-hak mendasar untuk mendapatkan udara bersih, tanah, air, makanan, dan ekosistem yang sehat. Bukannya mengusir masyarakat dari tanah tempat bergantung hidup dengan alasan mengurangi emisi. Demikian juga hak Masyarakat Adat untuk memiliki keputusan sendiri, dan hak mereka untuk mengatur lahan, termasuk lahan, wilayah, dan sumber daya bawah permukaan (sub-surface), serta hak untuk perlindungan atas segala aksi atau tindakan yang bisa menghancurkan atau merusak wilayah dan cara hidup mereka harus diakui.

Memang sangat membingungkan ketika berbicara dan mempromosikan tentang pencegahan deforestasi yang dilakukan oleh kepala-kepala negara dan para delegasi pemerintah di UNFCCC tanpa mereka menyinggung atau memberi keprihatianan-keprihatinan kepada masalah-masalah dan dampak skema dari REDD yang disebutkan diatas. Pendek kata upaya dari mitigasi melalui mekanisme REDD ini perlu dan harus tetap secara jelas melibatkan partisipasi masyarakat adat dan para pemangku hutan yang sangat berpotensi terkena dampak.

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional tingkat akhir dan Alumni Green Student Movement (GSM) angkatan 8 Walhi Institute